-->
Suku Bajo kerap dicap sebagai perusak ekosistem terumbu karang. Di daerah pesisir yang didiami oleh Suku Bajo, pemboman ikan yang sering...
Suku Bajo: Merawat Laut Menolak Stigma Negatif

Suku Bajo: Merawat Laut Menolak Stigma Negatif



Suku Bajo kerap dicap sebagai perusak ekosistem terumbu karang. Di daerah pesisir yang didiami oleh Suku Bajo, pemboman ikan yang sering terjadi diasosiasikan kepada orang-orang Bajo.



Di beberapa tempat, memang beberapa warga Suku Bajo ada yang ditangkap sebagai pelaku pengeboman ikan di beberapa perairan, tetapi mereka hanyalah sedikit warga Suku Bajo yang terpengaruh oleh nelayan luar, yang seringkali memasuki perairan yang didiami Suku Bajo. Para nelayan luar itu biasa menangkap ikan dengan cara instan,  menggunakan pukat harimau, potasium dan bom, lazimnya pendatang mereka biasanya merekrut beberapa nelayan lokal, untuk alasan keamanan dan penunjuk arah. Beberapa warga, akhirnya ada yang tergiur.

Benarkah, Suku Bajo Pengebom Ikan?

Zaman dahulu kala, orang-orang Suku Bajo terbiasa hidup di atas perahunya atau sering disebut nomaden. Namun, saat ini banyak orang Bajo membangun rumah di atas laut dangkal sebagai tempat tinggal.

Bukan hanya di Indonesia, Suku Bajo telah tersebar di lautan Malaysia, Filipina, dan Thailand. Di Indonesia, mereka tersebar di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, dan wilayah Indonesia bagian timur lainnya. Sejarah mengatakan, suku ini berasal dari Kepulauan Sulu di Filipina Selatan yang hidup di lautan lepas, hingga membawa mereka masuk ke negara tercinta ini, Tanah Air Indonesia.

Suku ini memiliki berbagai sebutan, seperti Bajo, Bajau, Badjaw, Sama, atau Same. Suku yang belum diketahui secara pasti asalnya ini terkenal dengan keahliannya menyelam dalamnya lautan hingga 70 meter dalamnya, hanya dengan sekali tarikan napas. Mereka sama sekali tidak memerlukan baju khusus dan alat bantu pernapasan. Yang mereka pakai hanyalah kaca mata renang yang terbuat dari kayu untuk mencegah air masuk ke mata. Sungguh sederhana, tapi fungsional.

Kehebatan Suku Bajo dalam mengarungi laut membuat banyak ilmuwan dunia tertarik untuk membuat penelitian. Salah satunya, yaitu sekelompok ilmuwan dari University of Copenhagen dan University of California di Berkeley yang mencoba menguak misteri asal usul kehebatan Suku Bajo yang bermukim di Indonesia.

Hasil penelitian itu menyebutkan, limpa orang-orang Suku Bajo ternyata lebih besar 50% dibanding manusia biasa pada umumnya. Alhasil, produksi oksigen di dalam darah orang Bajo akan lebih banyak karena besarnya ukuran limpa tersebut. Para peneliti juga menyebutkan, keahlian orang Bajo merupakan bentuk dari terjadinya mutasi gen akibat seleksi alam. Hampir seluruh orang Bajo diketahui terlahir dengan perbedaan gen tersebut.

Orang Bajo berprofesi sebagai nelayan. Keahlian meraka sebagai penjelajah laut terjadi secara turun-temurun. Sejak kecil, anak-anak Suku Bajo sudah diajarkan teknik memancing dan menyelam oleh orang tuanya. Mereka menyelam, mencari ikan, gurita, atau makhluk dalam air lainnya. Jadi, tidak heran jika keahlian menyelam mereka luar biasa.

Orang-orang Suku Bajo juga dikenal ramah terhadap pengunjung. Keramahan anak-anak hingga orang dewasa Suku Bajo tidak akan terlupakan ketika mendatangi suku ini. Suku Bajo menggantungkan hidup sepenuhnya pada laut, jadi tidak mungkin mereka merusak laut dengan mengebom, menabur potasium atau menggunakan alat yang bisa merusak tempat mereka mencari makan, laut!

Berikut beberapa pengalaman nelayan Suku Bajo yang saya salin dari mogabay.co.id. Tulisan ini terdiri dari dua bagian.

Suku Bajo Menolak Doidentikkan dengan Pemboman Ikan

Pagi di Juli 2018. Di perairan Pohuwato, Teluk Tomini, sebuah perahu berterpal oranye bergerak perlahan. Dekat kemudi ada belanga, wajan, teko, piring, sendok, gelas, dan peralatan dapur.

Di haluan perahu, berbagai alat menangkap ikan tersusun rapi. Mulai dari panah, pancing, jaring, dan belasan bambu yang dibelah sebagai perangkap udang.
Perahu ini disebut sope. Sebutan lainnya adalah leppa. Ukurannya sekira lebar dua meter dengan panjang enam meter. Di perahu itu terdapat perlengkapan tidur. Di dalamnya, dua anak sedang bermain. Paling bungsu kadang mengeluarkan suara tangisan. Sang kakak kerap membujuknya berhenti meraung.

Keduanya adalah Rasti Nyong (6 tahun) dan Rafli Nyong (2 tahun). Berada di laut, suara tangisan Rafli terdengar jelas.

Sang ibu, Pina Epus, sibuk memasak. Sementara suaminya, Serding Nyong, menyelam diperairan dangkal menangkap udang. Dia ditemani dua anak lelakinya yang remaja; Ahmad Nyong (20 tahun) dan Darma Nyong (17 tahun). Mereka hanya memakai goggle atau kacamata air.

Tidak jauh dari perahu mereka, sebuah sope selalu mengikuti. Kadang dari belakang, samping, bahkan sering berada di depan. Pengemudinya seorang perempuan tua bernama Munu Botutihe, (65 tahun). Ia adalah nenek dari Ahmad, Darma, Rasti, dan Rafli.

Nenek Munu memakai tudung kepala bundar lancip yang terbuat dari anyaman bambu, dan berpakaian daster. Wajahnya dilumuri bedak (barra) ramuan alami terbuat dari tepung beras dicampur daun asam. Ia berjongkok di haluan perahu sembari memegang dayung dan memperhatikan ke bawah laut.

“Nenek Munu itu ibunya Serding Nyong, suami saya,” kata Pina Epus.

Tanpa saya tanya, tiba-tiba Pina Epus menjelaskan ibu mertuanya.
Munu Botutihe bertugas memperhatikan perairan sekitar. Matanya selalu awas melihat udang-udang yang bersembunyi di balik pasir atau karang. Setelah itu, ia memerintahkan sang anak, Serding Nyong, dan cucu-cucunya yang menyelam untuk memasang perangkap dengan sebilah bambu.

Hasil tangkapan udang, biasanya mereka jual ke panampung ikan di kampung. Lalu para penampung menjual lagi ke Kota Gorontalo, Manado, atau Palu.

Mereka tinggal di perahu untuk mencari ikan berminggu-minggu atau bulan. Jika badai datang, perahu menepi dahulu, bersembuyi di balik pulau. Hari itu, tidak hanya keluarga Serding Nyong yang mencari ikan. Tidak jauh dari mereka, terlihat beberapa perahu dengan model serupa.

Salah satunya dilakukan oleh Jena Tane (80 tahun) bersama istrinya Sanina Gaho (56 tahun). Pasangan suami istri itu mencari ikan dengan cara yang sama. Sang suami, ahli berburu ikan memakai panah.

“Kami mendapat gurita pakai panah ini,” ujar Sanina Gaho memperlihatkan hasil tangkapan gurita suaminya.

Di pagi itu, Sanina Gaho menggoreng pisang dan menyeduh kopi untuk sarapan suaminya. Sebagai pengganjal perut, sebelum kembali berburu ikan.


Pongka, tradisi Bajo menuju punah

Selain keluarga Serding Nyong serta pasangan suami istri Jane Tane dan Sanina Gaho, saya bertemu Sajo Opi (41 tahun), nelayan yang mencari ikan dengan cara sama. Namun, Sajo Opi sendirian. Ia tidak mengajak istri atau anaknya.

“Anak-anak saya sekolah,” katanya.

Sajo Opi berencana mencari ikan dua minggu. Setelah hasil didapat, ia akan menjual ke penampung, sebelum pulang ke rumahnya.

Semua nelayan tersebut berasal dari Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Namun mereka kini pindah ke kampung tetangga, Desa Lemito, sekitar 30 menit dari Torosiaje. Mereka yang mencari ikan tersebut merupakan Suku Bajo. Suku ini terkenal sebagai pengembara lautan yang ulung.

Cara mereka mencari ikan dengan tinggal di atas perahu itu disebut pongka atau ba pongka. Dilakukan dalam jangka waktu lama, dengan mengikutsertakan keluarga seperti istri dan anak.

Sayangnya, tradisi pongka mulai jarang dilakukan. Hanya sebagian kecil Suku Bajo yang melakukannya.


Ramli Utina, profesor Bidang Ekologi dan Lingkungan dari Universitas Negeri Gorontalo (UNG), bersama Alwiyah, guru SMA Negeri 2 Luwuk, melakukan penelitian tradisi pongka pada suku Bajo di pesisir Desa Bongganan, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.

Dalam laporan yang berjudul Bapongka: Studi Nilai Pendidikan Pelestarian Ekosistem Laut dan Pesisir pada Masyarakat Bajo (2014), dijelaskan bahwa tradisi ba pongka memiliki nilai-nilai pendidikan bagi pelestarian ekosistem dan lingkungan laut dan pesisir.

Dalam ba pongka ada hal-hal yang tidak dapat dilakukan, antara lain: tidak boleh membuang air cucian beras, arang kayu bekas memasak, ampas kopi, air cabe, air jahe, kulit jeruk dan abu dapur. Bagi orang Bajo, hal tersebut diyakini dapat mempengaruhi hasil tangkapan.

“Menurut keyakinan mereka, apabila pantangan tersebut dilanggar akan menyebabkan datangnya angin kencang dan munculnya hantu laut. Tanpa disadari, dengan mentaati aturan atau pantangan dalam ba pongka, kelestarian ekosistem laut dan pesisir akan terjaga,” ungkap Ramli Utina dalam laporannya.

Nelayan perempuan Bajo di Torosiaje. Mereka dikenal sebagai pelaut tangguh. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

Kegiatan melaut dengan tradisi ba pongka yang mulai jarang dilakukan, menurut Ramli Utina, hal tersebut terjadi karena adanya dorongan untuk mencari pekerjaan selain melaut.

Dorongan ini terpengaruh para pendatang yang umumnya pedagang. Dalam perjalanannya, terjadi perkawinan pendatang dan penduduk Suku Bajo. Masyarakat lokal merasa tertarik untuk mengikuti apa yang dikerjakan pendatang.

Bila ditinjau dari segi keberadaan ba pongka, kehadiran masyarakat pendatang sangat mempengaruhi penerapan tradisi ini. Melaut sudah jarang dilaksanakan oleh generasi sekarang.

“Sesungguhnya dalam ba pongka telah tersirat upaya pelestarian ekosistem laut dan pesisir yang tidak disadari nelayan Suku Bajo. Perlu pemahaman bahwa ba pongka memiliki nilai-nilai pendidikan bagi pelestarian ekosistem laut dan pesisir, yang pada gilirannya akan mempengaruhi hasil tangkapan ikan,” urai Ramli Utina. 


Bersambung ...

Read more »
Nyalamak Dilau', Tradisi Suku Bajoe

Nyalamak Dilau', Tradisi Suku Bajoe

Suara seronai menjerit-jerit dari sebuah rumah tua yag di halamannya didirikan sarapo (panggung) untuk menerima tetamu. Seronai, gendang, gong, bonang, secara berbarengan membahana guna membuka upacara nyalamak dilau’ (selamatan laut) orang-orang suku Bajo yang tinggal di Tanjung Luar, Lombok Timur di pertengahan Juli 2007 lalu.

Jeritan seronai (di tempat lain disebut serunai, terompet yang bunyinya melengking) yang terus menerus dengan tempo gong serta gendang yang monoton, mengingatkan saya pada hampir semua bunyi musik tradisi dari seluruh daerah di negeri ini. Inilah kiranya memori bunyi purba kita. Bunyi monoton dengan ketukan 2/4 yang mengajak jantung kita berdegup lebih cepat. Bunyi yang menghanyutkan perasaan kita pada cakrawala yang lain.

Nyalamak Dilau'

Entah lantaran bunyi-bunyian yang bertalu-talu itu, atau entah karena kurang sempurnanya sesaji, tak lama kemudian muncul perempuan muda yang kesurupan (kedongkoan). Ia menari-nari mengikuti irama musik sambil sesekali tersenyum. Tak lama kemudian, naik pula perempuan muda lainnya yang juga kesurupan. Jika pada perempuan pertama senantiasa mengekspresikan kegembiraan, perempuan muda kedua yang kesurupan ini tampak sedang berduka. Di antara gerak tarinya, ia kadang menyanyikan lagu-lagu yang sedih.

Menurut Daeng Abas yang bertindak sebagai salah satu sandro (dukun), ekspresi gadis-gadis yang kesurupan itu memang tergantung pada roh yang masuk. Bisa gembira, sedih, marah, atau bisa juga diam membisu.

"Tergantung roh siapa yang memasukinya," ujar Abas.

Pada sore itu, penduduk Tanjung Luar yang mayoritas keturunan suku Bajo terlihat berkumpul di sekitar panggung untuk menyaksikan rangkaian ritual nyalamak dilau’ yang konon berbeaya sekitar Rp35 juta.

Riwayat Nyalamak

Syahdan, pada awalnya yang melaksanakan upacara nyalamak dilau’ adalah Suku Mandar, namun pada perkembangannya kemudian diambil alih oleh orang Bajo, demikian dituturkan sandro Daeng Abas. Abas menambahkan, kini upacara itu justru dilaksanakan oleh empat suku; Bugis, Makassar, Mandar dan Bajo.

Abas bercerita, dulu di Mandar, tepatnya di Balanipah, dilanda penyakit. Lalu Datuk Mandar Marakdia Mak Danuang mendapat ilham. Isinya, jika ingin wabah itu pergi, maka harus melaksanakan selamatan laut dengan memakai korban kepala kerbau. Maka, setelah upacara itu dilaksanakan, wabah penyakit pun sirna dari wilayah Mandar.

Nah, semenjak itulah, tradisi ini selalu dilaksanakan, terutama jika ada wabah penyakit atau kesulitan hidup menelikung suku yang berasal dari tanah Sulawesi Selatan itu. Cuma kini, kata Abas, upacara laut ini tak bisa secara rutin dilaksanakan.

"Kalau nggak ada bantuan dari pemerintah, mana kuat kami menanggung biayanya," ujar Abas seraya menyebut angka Rp35 juta untuk sekali upacara.

Upacara Nyalamak

Inti dari semua kegiatan selamatan laut (nyalamak dilau’) adalah malagak tikolok (membuang kepala kerbau) ke dalam laut, tepatnya di atas gugusan batu di tengah laut tempat menghilangnya Punggawa Rattung, terletak di depan pelabuhan desa Tanjung Luar, depan Dermaga TPI, berjarak sekitar 100 m dari pinggir pantai.

Menjatuhkan Kepala Kerbau (Malagak Tikolok)

Namun sebelum acara inti ini dilakukan, terlebih dahulu dilakukan musyawarah adat untuk menentukan beberapa hal. Rangkaian kegiatan demi kegiatan pada acara malagak tikolok.

Tahap-tahap malagak tikolok:
1.   Tiga hari sebelum dilakukan acara malagak tikolok (buang kepala kerbau) terlebih dahulu dipasang tanda-tanda berupa 4 (empat) buah bendera di sekitar lokasi acara, masing-masing arah mata angin (utara, selatan, timur dan barat)
2.   Tiga hari pada waktu yang bersamaan, Sandro lainnya memimpin arak-arakan keliling desa Tanjung Luar sambil ngeririk kerbau (menggeret kerbau) diikuti oleh 7 (tujuh) orang bone-bone, 7 (tujuh) orang anak laki-laki di bawah umur sambil membawa ula-ula (bahan-bahan upacara) diiringi oleh tabuhan Sarone. Susunan barisan pada saat melakukan arak-arakan tersebut adalah: kerbau yang sudah dihias berada di depan, diikuti oleh barisan Sandro dikawal oleh Panggalatik, kemudian barisan bone-bone, lalu barisan anak-anak dan terakhir barisan pasarone.
3.   Malam hari puncak acara, dilakukan penyembelihan kerbau, badan dengan kepala dipisahkan, kepala kerbau yang menjadikan persembahan diletakkan di atas rakit bersama dengan perlengkapan-perlengkapan upacara lainnya.
4.   Keesokan harinya, barulah acara malagak tikolok dilaksanakan, yang sebelumnya semua perahu yang ada di Desa Tangjung Luar pada hari itu diharuskan keluar pantai, berkumpul untuk mengiringi dari belakang rakit yang membawa perlengkapan upacara tersebut tanpa satu pun boleh mendahului.
5.   Setelah iring-iringan sampai di lokasi malagak tikolok, beberapa saat kemudian oleh Sandro, kepala kerbau diceburkan ke dalam laut diikuti sorak sorai orang-orang yang ikut menyaksikan acara ini seraya melakukan siram-siraman dengan menggunakan air laut diiringi oleh tabuh-tabuhan Sarone dan yang lainnya.
6.   Setelah acara malagak cikolok selesai, untuk menghormati acara ini, semua nelayan selama 3 (tiga) hari 3 (tiga) malam tidak diperkenankan turun menangkap ikan ke laut, kalau ternyata ada nelayan yang nekad melanggar ketentuan ini, oleh Ketua Adat diberikan sanksi berupa denda, penyitaan barang hasil tangkapan sesuai dengan ketetapan awiq-awiq desa.
7.   Setelah itu, pada hari keempat, Sandro membuka laut dan para nelayan seperti biasa menangkap ikan. (Sumber: Kompas)





Read more »
Beranda

Perjalanan